I.
PENDAHULUAN
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang
kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi
perwakilan)[1].
Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan
rakyat", yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat"
dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik
yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno,
khususnya Athena,
menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan
pertama kali oleh Aristoteles
sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa
kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato
Gettysburgnya mendefinisikan
demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat". Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di
tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan.
Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak[2].
Demokrasi
terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat
umum di Athena yang ingin menyuarakan pendapat mereka. Dengan adanya sistem
demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari.Demokrasi memberikan kebebasan
berpendapat bagi rakyat, namun pada masa awal terbentuknya belum semua orang
dapat mengemukakan pendapat mereka melainkan hanya laki-laki saja Sementara
itu, wanita, budak, orang asing dan penduduk yang orang tuanya bukan orang
Athena tidak memiliki hak untuk itu.
Di
Indonesia, pergerakan nasional juga
mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan
berarti juga otonomi atau
kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan
apa yang dia inginkan. Masalah keadilan menjadi penting, dalam arti setiap
orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi hak
tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan untuk mencapai
hal tersebut.
II.
PEMBAHASAN
Demokrasi
Pancasila adalah demokrasi yang mengutamakan musyawarah
mufakat tanpa oposisi[3] dalam doktrin Manipol USDEK disebut pula sebagai demokrasi terpimpin merupakan demokrasi yang berada dibawah komando Pemimpin Besar Revolusi
kemudian dalam doktrin repelita yang
berada dibawah pimpinan komando Bapak Pembangunan arah rencana
pembangunan daripada suara terbanyak dalam setiap usaha pemecahan masalah atau pengambilan keputusan, terutama dalam lembaga-lembaga negara.[4]
1. Pancasila Dalam Ber – Demokrasi
Istilah
demokrasi itu sendiri, tidak termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yang memuat
Pancasila. Namun, esensi demokrasi terdapat dalam Sila keempat Pancasila,
Kedaulatan Rakyat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksnaan berdasar
Permusyawaratan/ Perwakilan. Sejauh apa demokrasi kita merupakan perwujudan
Sila keempat itu ?
Pancasila yang mempunyai hierarki dalam setiap sila-sila
dalam pancasila yang mempunyai wujud kepedulian terhadap bangsa Indonesia. Sila
pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai arti bahwa negara dan
bangsa Indonesia mengakui adanya Tuhan dan Mempercayai agama dan melaksanakan
ajaran-ajaran agama yang dianut oleh bangsa Indonesia. Sila yang kedua sampai
sila kelima merupakan sebuah akisoma dari sisi humanisme bangsa Indonesia itu
sendiri. Dengan masyarakat Indonesia yang dikatakan heterogen, yang mempunyai
kebudayaan, bahasa, suku yang berbeda-beda, maka pancasila inilah yang menjadi
sebuah kekuatan untuk mempersatukan masyarakat yang heterogen ini (bhineka
tunggal ika). Pancasila tidak memandang stereotype suatu suku, suatu adat,
atau budaya. Integrasi masyarakat yang heterogen menjadi masyarakat yang
homogen dapat terwujud bila adanya rasanya persatuan dan kesatuan. Dinamika
masyarakat yang heterogen menjadikan kekuatan Indonesia dalam menjadikan sebuah
yang dinamakan “bangsa”, tetapi dapat menghancurkan Indonesia itu sendiri bila
tidak ada rasa untuk bersatu.
Demokrasi, sebuah kata sakti dalam beberapa tahun terakhir.
Sebuah kata yang setiap Negara/ bangsa selalu mengagungkannya. Saking saktinya
kata tersebut sampai memiliki pengaruh yang luar biasa hebatnya. Meskipun
sebagian masyarakat tidak paham apa sebenarnya yang didemokrasi, kekuasaan-kah,
Keadilan-kah, Pendidikan-Kah atau Cuma pendapat/aspirasi saja. Kalau demokrasi
diartikan sebagai kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, berarti itu hanya
demokrasi dalam lingkup mengeluarkan pendapat. Lalu dimanakah letak Demokrasi
Pendidikan? Demokrasi Keadilan? Demokrasi beragama?
Ketika para pendiri bangsa ini merumuskan UUD 1945, sudah
tentu ingin memberikan system ketatanegaraan yang terbaik bagi bangsa ini. Yang
terbaik itu, adalah yang sesuai dengan kondisi bangsa yang sangat plural, baik
dari aspek etnis, agama ,dan sosial budaya. Bahwa kedaulatan ditangan rakyat,
mekanismenya berdasar Permusyawaratan/ Perwakilan. Sudahkah esensi demokrasi
seperti itu diterjemahkan dalam kehidupan demokrasi kita? Sudahkah UU Pemilu
kita benar – benar merujuk pada esensi demokrasi yang dicita – citakan para
pendiri bangsa ini? Sudahkah mekansime demokrasi yang kita tempuh dalam setiap
pengambilan keputusan merujuk ke esensi demokrasi yang kita cita-citakan ?
Kalau
wujud demokrasi yang telah kita laksanakan ternyata berbeda-beda ( sejak
demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila dan demokrasi di era Reformasi)
demokrasi yang mana yang sesuai atau paling sesuai dengan esensi demokrasi
sebagaimana termaktub dalam Sila keempat Pancasila? Cukupkah alasan, bahwa
demokrasi kita sekarang ” kebablasan”, menjadi ” democrazy” dan karena itu
harus diluruskan kembali?
Mengenai sila keempat daripada
Pancasila, dasar filsafat negara Indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan/perwakilan dapat diketahui dengan
empat hal sebagai berikut:
1. Sila kerakyatan
sebagai bawaan dari persatuan dan kesatuan semua sila, mewujudkan penjelmaan
dari tiga sila yang mendahuluinya dan merupakan dasar daripada sila yang
kelima.
2. Di dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar, sila kerakyatan ditentukan penggunaannya yaitu
dijelmakan sebagai dasar politik Negara, bahwa negara Indonesia adalah negara
berkedaulatan rakyat.
3. Pembukaan
Undang-undang Dasar merupakan pokok kaidah Negara yang fundamentil sehingga
dengan jalan hukum selama-lamanya tidak dapat diubah lagi, maka dasar politik
Negara berkedaulatan rakyat merupakan dasar mutlak daripada Negara Indonesia.
4. Dasar
berkedaulatan rakyat dikatakan bahwa,”Berdasarkan kerakyatan dan dalam
permusyarawatan/perwakilan, oleh karena itu sistem negara yang nanti akan
terbentuk dalam Undang-undang dasar harus berdasar juga, atas kedaulatan rakyat
dan atas dasar permusyarawatan/perwakilan”. Sehingga Negara Indonesia adalah
mutlak suatu negara demokrasi, jadi untuk selama-lamanya.[5]
Sila ke-empat
merupakan penjelmaan dalam dasar politik Negara, ialah Negara berkedaulatan
rakyat menjadi landasan mutlak daripada sifat demokrasi Negara Indonesia.
Disebabkan mempunyai dua dasar mutlak, maka sifat demokrasi Negara Indonesia
adalah mutlak pula, yaitu tidak dapat dirubah atau ditiadakan.
Berkat sifat
persatuan dan kesatuan daripada Pancasila, sila ke-empat mengandung pula
sila-sila lainnya, sehingga kerakyatan dan sebagainya adalah kerakyatan yang
berke-Tuhanan Yang Maha Esa, Yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
2.
Demokrasi Pancasila
Sebagai ideologi nasional, pancasila berfungsi sebagai :
a)
Cita-cita masyarakat yang selanjutnya menjadi pedoman dalam mebuat dan menilai
keputusan politik
b)
Masyarakat yang mampu menjadi sumber nilai bagi produser penyelesaian konflik
yang terjadi.
Nilai-nilai demokrasi yang terjabar dari nilai-nilai
Pancasila tersebut sebagai berikut :
a)
Kedaulatan Rakyat
b)
Republik
c)
Negara Berdasarkan atas Hukum
d)
Permintaan yang Kontitusional
e)
Sistem Perwakilan
Demokrasi pancasila dapat diartikan secara luas maupun
sempit, sebagai berikut :
a)
Secara luas demokrasi pancasila berarti kedaulatan rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.
b) Secara sempit demokrasi Pancasila berarti kedaulatan
rakyat yang dilaksanakan menurut hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.[6]
Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum.Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan penguruspartai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan.[7]
Dasar Hukum
Pasal 73 ayat 3 Undang
Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi: "Barang siapa pada waktu
diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian
atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya
untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu,
dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu
dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji
berbuat sesuatu."
Politik uang (money politics) telah membuat suara atau
jeritan rakyat kehilangan gaung. Politik uang merupakan sebuah strategi yang
dilakukan orang untuk mempengaruhi pemilih agar memberikan suara kepada yang
bersangkutan atau partai politiknya. Suara pemilih (konstituen) “dibeli” dengan
sejumlah uang atau barang atau benda tertentu dengan harapan si pemilih akan
memberi mandat (hak suara) kepada si pemberi uang atau pasangan tertentu.[8]
Menyikapi
maraknya isu politik uang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seperti dikutip
Suara Pembaruan (10/9/2011) mengemukakan bahwa politik uang (money politics)
sebagai hantu atau momok bagi bangsa ini. Politik uang telah merusak dan
menghancurkan bangsa ini. Jika tidak dicegah maka sia-sia pembangunan demokrasi
yang telah dijalankan selama era reformasi sejak 1998 lalu.
Mengapa politik uang
dapat menyebabkan pembangunan demokrasi sia-sia? Bila dianalogikan, hakikat politik uang itu sesungguhnya seperti orang membeli
sebuah benda atau barang dari sebuah toko. Setelah kita membayar harga barang
berdasarkan harga bandrol atau proses tawar menawar, maka barang itu sepenuhnya
menjadi milik pembeli. Pemilik barang itu sudah berpindahtangan karena sebuah
transaksi pembayaran, yaitu dari penjual kepada pembeli.
Akar Virus Politik Uang
Politik uang sejatinya adalah
salah satu bentuk virus politik yang cukup ganas. Ia akan membunuh pohon
demokrasi hingga ke akar-akarnya. Cepat atau lambat. Kalau pada akhirnya pohon
demokrasi itu tumbuh besar, ia akan menjadi ancaman bagi tanaman di sekitarnya.
Atau, bahkan membunuhnya juga.
Ketika politik uang menjadi
senjata para Caleg untuk “menipu” masyarakat agar bersimpati dan memilihnya,
maka saat itu pula, pesta demokrasi —Pemilu, Pilkada, Pilkades— dengan
sendirinya telah cacat.
Politik dan uang selalu
bergandengan tangan. Dan virus politik uang, sebenarnya sudah berkembang sejak
masa Negara Kota (Polis/Politea) di Yunani Kuno. Sejak dipergunakan secara luas
sebagai alat tukar dalam peradaban modern, uang telah menjadi tiket politik
yang efektif. Jika digunakan dengan cerdas, ia bisa menjadi ongkos bagi
seseorang untuk memperoleh kekuasaan atau jabatan tertentu.
Praktik politik uang
setidaknya bermasalah dalam dua aspek: idealisme demokrasi dan aturan main
perundangan. Dalam konteks demokratisasi, fenomena politik uang, memiliki sisi
berlawanan dengan idealisme demokrasi. Dinamika demokratisasi menghendaki
adanya kemandirian dan rasionalitas rakyat sebagai aktor utama demokrasi.
Pilihan rakyat dalam berdemokrasi harus merdeka dari tekanan dan intimidasi
termasuk tekanan uang. Selain itu, pilihan rakyat juga mesti berdasarkan
pertimbangan rasionalitas, bukan alasan yang bersifat pragmatis. Perebutan
kekuasan politik seperti apapun bentuknya, mesti tetap dalam idealisme
demokrasi.
Pada titik ini, yang menguat
adalah praktik proseduralisme demokrasi yang berbiaya tinggi, dan semakin
terpinggirkannya substansi nilai-nilai demokrasi yang mengusung kearifan dan
kemanusiaan. Ujung dari politik uang, tentunya demokratisasi tak bertuan.
Mengapa? Karena agregasi kekuasaan yang berlangsung tidak melibatkan kekuatan
kemerdekaan rakyat sesungguhnya. Sebab, yang menggerakkan pilihan mereka adalah
landasan material/uang.
Di sisi lain, pemerintah yang
berkuasa pun tidak memiliki ruang akuntabilitas untuk proses
pertanggungjawaban. Karena segalanya telah selesai saat transaksi uang dalam
proses pemilihan terjadi. Sehingga tak mengherankan, ketika terjadi tirani
kekuasaan oleh negara, maka rakyat tidak memiliki daya resistensi yang cukup
kuat. Di sinilah muncul ironi demokrasi. Dari rakyat, tapi bukan oleh rakyat,
dan bukan untuk rakyat.
Aspek kedua, politik uang
juga bermasalah dalam perspektif yuridis. Dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang
Pemilu misalnya, disebutkan bahwa pelaksana, peserta, dan petugas kampanye
dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta
kampanye. (Pasal 84 ayat 1 huruf J).
Begitu pula dalam UU 32 tahun
2004 pasal 117 ayat 2 tentang Pilkada juga telah diatur larangan politik uang,
dengan ancaman pidana penjara dua hingga 12 bulan bagi pelakunya ; Setiap orang
yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada
seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon
tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat
suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
III.
PENUTUP
Benahi Mental
Politik uang, apapun
bentuknya, adalah virus. Kalau virus ini tidak dibasmi, ia akan menggerogoti
mental para Caleg, termasuk juga pemilih. Cara yang paling efektif untuk bisa
kebal dari ancaman virus ini adalah membentengi mental seluruh pihak yang
terlibat dalam pentas demokrasi politik.
Para Caleg yang biasanya
menggunakan politik uang cenderung bermental materi. Baginya, kekuasaan hanya
bisa dibeli dengan uang. Sementara bagi pemilih yang menerima uang sebagai
kompensasi hak politik yang dimilikinya biasanya bermental pragmatis. Hidup
baginya hanya untuk memenuhi kebutuhan perut. Mental seperti inilah yang mesti
diprioritaskan utuk dibenahi.
[1]
Pof. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar ilmu Politik,Jakarta:PT Gramedia Pustaka
1998,hal 105
[3] Indrayana, Denny
(2007). "Indonesia dibawah Soeharto: Order Otoliter Baru". Amandemen
UUD 1945: antara mitos dan pembongkaran. Mizan Pustaka. hlm. 141
[4] Abdulkarim A. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Kelas XII SMA. Cet.1.
Bandung: Grafindo Media Pratama.Hlm25-27.
[5]
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/04/demokrasi-dan-pelaksanaan-demokrasi-di-
indonesia-beserta-contohnya/
[6]
http://denurul.blogspot.com/2009/02/negara-bentuk-pemerintahan-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar