Rabu, 30 Mei 2012

Demokrasi Pancasila


I.                    PENDAHULUAN
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan)[1]. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak[2].
Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum di Athena yang ingin menyuarakan pendapat mereka. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari.Demokrasi memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat, namun pada masa awal terbentuknya belum semua orang dapat mengemukakan pendapat mereka melainkan hanya laki-laki saja Sementara itu, wanita, budak, orang asing dan penduduk yang orang tuanya bukan orang Athena tidak memiliki hak untuk itu.
Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan. Masalah keadilan menjadi penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan untuk mencapai hal tersebut.
II.                PEMBAHASAN
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang mengutamakan musyawarah mufakat tanpa oposisi[3]  dalam doktrin Manipol USDEK disebut pula sebagai demokrasi terpimpin merupakan demokrasi yang berada dibawah komando Pemimpin Besar Revolusi kemudian dalam doktrin repelita yang berada dibawah pimpinan komando Bapak Pembangunan arah rencana pembangunan daripada suara terbanyak dalam setiap usaha pemecahan masalah atau pengambilan keputusan, terutama dalam lembaga-lembaga negara.[4]
1.      Pancasila Dalam Ber – Demokrasi
Istilah demokrasi itu sendiri, tidak termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yang memuat Pancasila. Namun, esensi demokrasi terdapat dalam Sila keempat Pancasila, Kedaulatan Rakyat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksnaan berdasar Permusyawaratan/ Perwakilan. Sejauh apa demokrasi kita merupakan perwujudan Sila keempat itu ?
Pancasila yang mempunyai hierarki dalam setiap sila-sila dalam pancasila yang mempunyai wujud kepedulian terhadap bangsa Indonesia. Sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai arti bahwa negara dan bangsa Indonesia mengakui adanya Tuhan dan Mempercayai agama dan melaksanakan ajaran-ajaran agama yang dianut oleh bangsa Indonesia. Sila yang kedua sampai sila kelima merupakan sebuah akisoma dari sisi humanisme bangsa Indonesia itu sendiri. Dengan masyarakat Indonesia yang dikatakan heterogen, yang mempunyai kebudayaan, bahasa, suku yang berbeda-beda, maka pancasila inilah yang menjadi sebuah kekuatan untuk mempersatukan masyarakat yang heterogen ini (bhineka tunggal ika). Pancasila tidak memandang stereotype suatu suku, suatu adat, atau budaya. Integrasi masyarakat yang heterogen menjadi masyarakat yang homogen dapat terwujud bila adanya rasanya persatuan dan kesatuan. Dinamika masyarakat yang heterogen menjadikan kekuatan Indonesia dalam menjadikan sebuah yang dinamakan “bangsa”, tetapi dapat menghancurkan Indonesia itu sendiri bila tidak ada rasa untuk bersatu.
Demokrasi, sebuah kata sakti dalam beberapa tahun terakhir. Sebuah kata yang setiap Negara/ bangsa selalu mengagungkannya. Saking saktinya kata tersebut sampai memiliki pengaruh yang luar biasa hebatnya. Meskipun sebagian masyarakat tidak paham apa sebenarnya yang didemokrasi, kekuasaan-kah, Keadilan-kah, Pendidikan-Kah atau Cuma pendapat/aspirasi saja. Kalau demokrasi diartikan sebagai kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, berarti itu hanya demokrasi dalam lingkup mengeluarkan pendapat. Lalu dimanakah letak Demokrasi Pendidikan? Demokrasi Keadilan? Demokrasi beragama?
Ketika para pendiri bangsa ini merumuskan UUD 1945, sudah tentu ingin memberikan system ketatanegaraan yang terbaik bagi bangsa ini. Yang terbaik itu, adalah yang sesuai dengan kondisi bangsa yang sangat plural, baik dari aspek etnis, agama ,dan sosial budaya. Bahwa kedaulatan ditangan rakyat, mekanismenya berdasar Permusyawaratan/ Perwakilan. Sudahkah esensi demokrasi seperti itu diterjemahkan dalam kehidupan demokrasi kita? Sudahkah UU Pemilu kita benar – benar merujuk pada esensi demokrasi yang dicita – citakan para pendiri bangsa ini? Sudahkah mekansime demokrasi yang kita tempuh dalam setiap pengambilan keputusan merujuk ke esensi demokrasi yang kita cita-citakan ?
Kalau wujud demokrasi yang telah kita laksanakan ternyata berbeda-beda ( sejak demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila dan demokrasi di era Reformasi) demokrasi yang mana yang sesuai atau paling sesuai dengan esensi demokrasi sebagaimana termaktub dalam Sila keempat Pancasila? Cukupkah alasan, bahwa demokrasi kita sekarang ” kebablasan”, menjadi ” democrazy” dan karena itu harus diluruskan kembali?
Mengenai sila keempat daripada Pancasila, dasar filsafat negara Indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan/perwakilan dapat diketahui dengan empat hal sebagai berikut:
1. Sila kerakyatan sebagai bawaan dari persatuan dan kesatuan semua sila, mewujudkan penjelmaan dari tiga sila yang mendahuluinya dan merupakan dasar daripada sila yang kelima.
2. Di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar, sila kerakyatan ditentukan penggunaannya yaitu dijelmakan sebagai dasar politik Negara, bahwa negara Indonesia adalah negara berkedaulatan rakyat.
3. Pembukaan Undang-undang Dasar merupakan pokok kaidah Negara yang fundamentil sehingga dengan jalan hukum selama-lamanya tidak dapat diubah lagi, maka dasar politik Negara berkedaulatan rakyat merupakan dasar mutlak daripada Negara Indonesia.
4. Dasar berkedaulatan rakyat dikatakan bahwa,”Berdasarkan kerakyatan dan dalam permusyarawatan/perwakilan, oleh karena itu sistem negara yang nanti akan terbentuk dalam Undang-undang dasar harus berdasar juga, atas kedaulatan rakyat dan atas dasar permusyarawatan/perwakilan”. Sehingga Negara Indonesia adalah mutlak suatu negara demokrasi, jadi untuk selama-lamanya.[5]
Sila ke-empat merupakan penjelmaan dalam dasar politik Negara, ialah Negara berkedaulatan rakyat menjadi landasan mutlak daripada sifat demokrasi Negara Indonesia. Disebabkan mempunyai dua dasar mutlak, maka sifat demokrasi Negara Indonesia adalah mutlak pula, yaitu tidak dapat dirubah atau ditiadakan.
Berkat sifat persatuan dan kesatuan daripada Pancasila, sila ke-empat mengandung pula sila-sila lainnya, sehingga kerakyatan dan sebagainya adalah kerakyatan yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, Yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Demokrasi Pancasila
Sebagai ideologi nasional, pancasila berfungsi sebagai :
a) Cita-cita masyarakat yang selanjutnya menjadi pedoman dalam mebuat dan menilai keputusan politik
b) Masyarakat yang mampu menjadi sumber nilai bagi produser penyelesaian konflik yang terjadi.
Nilai-nilai demokrasi yang terjabar dari nilai-nilai Pancasila tersebut sebagai berikut :
a) Kedaulatan Rakyat
b) Republik
c) Negara Berdasarkan atas Hukum
d) Permintaan yang Kontitusional
e) Sistem Perwakilan
Demokrasi pancasila dapat diartikan secara luas maupun sempit, sebagai berikut :
a) Secara luas demokrasi pancasila berarti kedaulatan rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.
b) Secara sempit demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.[6]

Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum.Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan penguruspartai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan.[7]

Dasar Hukum

Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi: "Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu."
 Politik uang (money politics) telah membuat suara atau jeritan rakyat kehilangan gaung. Politik uang merupakan sebuah strategi yang dilakukan orang untuk mempengaruhi pemilih agar memberikan suara kepada yang bersangkutan atau partai politiknya. Suara pemilih (konstituen) “dibeli” dengan sejumlah uang atau barang atau benda tertentu dengan harapan si pemilih akan memberi mandat (hak suara) kepada si pemberi uang atau pasangan tertentu.[8]
Menyikapi maraknya isu politik uang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seperti dikutip Suara Pembaruan (10/9/2011) mengemukakan bahwa politik uang (money politics) sebagai hantu atau momok bagi bangsa ini. Politik uang telah merusak dan menghancurkan bangsa ini. Jika tidak dicegah maka sia-sia pembangunan demokrasi yang telah dijalankan selama era reformasi sejak 1998 lalu.
Mengapa politik uang dapat menyebabkan pembangunan demokrasi sia-sia? Bila dianalogikan, hakikat politik uang itu sesungguhnya seperti orang membeli sebuah benda atau barang dari sebuah toko. Setelah kita membayar harga barang berdasarkan harga bandrol atau proses tawar menawar, maka barang itu sepenuhnya menjadi milik pembeli. Pemilik barang itu sudah berpindahtangan karena sebuah transaksi pembayaran, yaitu dari penjual kepada pembeli.
Akar Virus Politik Uang
Politik uang sejatinya adalah salah satu bentuk virus politik yang cukup ganas. Ia akan membunuh pohon demokrasi hingga ke akar-akarnya. Cepat atau lambat. Kalau pada akhirnya pohon demokrasi itu tumbuh besar, ia akan menjadi ancaman bagi tanaman di sekitarnya. Atau, bahkan membunuhnya juga.
Ketika politik uang menjadi senjata para Caleg untuk “menipu” masyarakat agar bersimpati dan memilihnya, maka saat itu pula, pesta demokrasi —Pemilu, Pilkada, Pilkades— dengan sendirinya telah cacat.
Politik dan uang selalu bergandengan tangan. Dan virus politik uang, sebenarnya sudah berkembang sejak masa Negara Kota (Polis/Politea) di Yunani Kuno. Sejak dipergunakan secara luas sebagai alat tukar dalam peradaban modern, uang telah menjadi tiket politik yang efektif. Jika digunakan dengan cerdas, ia bisa menjadi ongkos bagi seseorang untuk memperoleh kekuasaan atau jabatan tertentu.
Praktik politik uang setidaknya bermasalah dalam dua aspek: idealisme demokrasi dan aturan main perundangan. Dalam konteks demokratisasi, fenomena politik uang, memiliki sisi berlawanan dengan idealisme demokrasi. Dinamika demokratisasi menghendaki adanya kemandirian dan rasionalitas rakyat sebagai aktor utama demokrasi. Pilihan rakyat dalam berdemokrasi harus merdeka dari tekanan dan intimidasi termasuk tekanan uang. Selain itu, pilihan rakyat juga mesti berdasarkan pertimbangan rasionalitas, bukan alasan yang bersifat pragmatis. Perebutan kekuasan politik seperti apapun bentuknya, mesti tetap dalam idealisme demokrasi.
Pada titik ini, yang menguat adalah praktik proseduralisme demokrasi yang berbiaya tinggi, dan semakin terpinggirkannya substansi nilai-nilai demokrasi yang mengusung kearifan dan kemanusiaan. Ujung dari politik uang, tentunya demokratisasi tak bertuan. Mengapa? Karena agregasi kekuasaan yang berlangsung tidak melibatkan kekuatan kemerdekaan rakyat sesungguhnya. Sebab, yang menggerakkan pilihan mereka adalah landasan material/uang.
Di sisi lain, pemerintah yang berkuasa pun tidak memiliki ruang akuntabilitas untuk proses pertanggungjawaban. Karena segalanya telah selesai saat transaksi uang dalam proses pemilihan terjadi. Sehingga tak mengherankan, ketika terjadi tirani kekuasaan oleh negara, maka rakyat tidak memiliki daya resistensi yang cukup kuat. Di sinilah muncul ironi demokrasi. Dari rakyat, tapi bukan oleh rakyat, dan bukan untuk rakyat.
Aspek kedua, politik uang juga bermasalah dalam perspektif yuridis. Dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu misalnya, disebutkan bahwa pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye. (Pasal 84 ayat 1 huruf J).
Begitu pula dalam UU 32 tahun 2004 pasal 117 ayat 2 tentang Pilkada juga telah diatur larangan politik uang, dengan ancaman pidana penjara dua hingga 12 bulan bagi pelakunya ; Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).















III.             PENUTUP
Benahi Mental
Politik uang, apapun bentuknya, adalah virus. Kalau virus ini tidak dibasmi, ia akan menggerogoti mental para Caleg, termasuk juga pemilih. Cara yang paling efektif untuk bisa kebal dari ancaman virus ini adalah membentengi mental seluruh pihak yang terlibat dalam pentas demokrasi politik.
Para Caleg yang biasanya menggunakan politik uang cenderung bermental materi. Baginya, kekuasaan hanya bisa dibeli dengan uang. Sementara bagi pemilih yang menerima uang sebagai kompensasi hak politik yang dimilikinya biasanya bermental pragmatis. Hidup baginya hanya untuk memenuhi kebutuhan perut. Mental seperti inilah yang mesti diprioritaskan utuk dibenahi.



[1] Pof. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar ilmu Politik,Jakarta:PT Gramedia Pustaka 1998,hal 105
[3] Indrayana, Denny (2007). "Indonesia dibawah Soeharto: Order Otoliter Baru". Amandemen UUD 1945: antara mitos dan pembongkaran. Mizan Pustaka. hlm. 141
[4] Abdulkarim A. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Kelas XII SMA. Cet.1. Bandung: Grafindo Media Pratama.Hlm25-27.

[5] http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/04/demokrasi-dan-pelaksanaan-demokrasi-di-
indonesia-beserta-contohnya/

[6] http://denurul.blogspot.com/2009/02/negara-bentuk-pemerintahan-dan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar