Rabu, 30 Mei 2012

romawi kuno


Romawi ialah peradaban dunia yang letaknya terpusat di kota Roma masa kini. Peradaban Romawi dikembangkan Suku Latia yang menetap di lembah Sungai Tiber. Suku Latia menamakan tempat tinggal mereka ‘Latium’. Latium merupakan kawasan lembah pegunungan yang tanahnya baik untuk pertanian. Penduduk Latium kemudian disebut bangsa Latin. Pada mulanya, di daerah Latium inilah bangsa Latin hidup dan berkembang serta menghasilkan peradaban yang tinggi nilainya.
Kota Roma yang menjadi pusat kebudayaan mereka terletak di muara sungai Tiber. Waktu berdirinya Kota Roma yang yang terletak di lembah Sungai Tiber tidak diketahui secara pasti. Legenda menyebut bahwa Roma didirikan dua bersaudara keturunan Aenas dari Yunani, Remus dan Romulus.
“Menurut berita2 lama, Roma didirikan oleh Remus dan Romulus pada tahun 750. Remus dan Romulus ini anak Rhea silva, turunan Aenas –seorang pahlawan Troya jang dapat melarikan diri waktu Troya dikalahkan dan dibakar oleh bangsa Jujani”
Orang-orang Romawi memiliki kepercayaan terhadap dewa-dewa, seperti orang-orang di Yunani. Hanya saja dewa-dewa di romawi berbeda dengan di Yunani. Dewa-dewa yang dipercayai oleh orang-orang Romawi antara lain :
1. Jupiter (raja dewa-dewa)
2. Yuno (dewi rumah tangga)
3. Minerus (dewi pengetahuan)
4. Venus (dewi kecantikan)
5. Mars (dewa perang)
6. Neptenus (dewa laut)
7. Diana (dewi perburuan)
8. Bacchus (dewa anggur)
Roma berhasil menundukkan bangsa-bangsa yang tinggal disekitarnya satu persatu, baik dengan jalan kekrasan maupun jalan damai. Hingga akhirnya Roma berhasil menguasai seluruh Italia Tengah.
Sebelum itu, sekira tahun 492, Daerah Latium sebagai tempat berdirinya kota Roma dikuasai oleh kerajaan Etruskia, yang terletak disebelah utaranya sampai pada tahun 500 SM. Pada tahun 500 SM bangsa Latium memberontak terhadap kerajaan Etruskia dan berhasil memerdekaan diri serta mendirikan negara sendiri yang berbentuk republik. Maka sejak itu, Roma menjadi republik dan kepala negaranya disebut konsul yang dipilih setiap tahun sekali. Konsul selain menjadi penguasa negara juga ketua senat dan panglima besar.
Bangsa Romawi yang semula petani, setelah mengalahkan penguasa Etruskia kemudian menjadi bangsa penguasa besar dengan manaklukan wilayah yang luasa sampai ke Laut Tengah. Bangsa yang semula petani ini kemudian menjadi masyarakat kapitalis dan materialis. Selain sebagai bangsa yang suka dengan perang bangsa Romawi juga mengumpulkan kekayaan sebagai modal usaha. Mereka membali ladang-ladang dan kemudian penggarapannya dilakukan oleh para budak yang didatangkan dari daerah-daerah jajahan.
Penguasa Gayus Julius Caesar meluaskan wilayahnya sampai ke Jerman, Belgia, Belanda dan bahkan sampai menyebrangi selat Calis ke Inggris. Selain sebagai penguasa mutlak Julius Caesar juga mengembangkan kalender baru yang disebut kalender Julian. Kelender ini terus dipakai sampai kemudian diperbaharui oleh Gregorius yang kemudian dikenal dengan dengan kalender Gregorius. Julius Caesar dibunuh oleh Brutus dan Casinus yang menginginkan suatu pemerintahan berbentuk Republik. Akan tetapi, cita-cita kedua orang itu tidak berhasil dan tetap mempertahankan sistem pemerintahan diktator. Anak angkat Julius Caesar bernama Oktvaianus kemudian dapat menguasai Romawi kembali dan berkuasa secara diktator.
Dalam kekuasaannya, Oktavianus banyak dikelilingi orang-orang pandai sehingga ia dapat berkuasa cukup lama. Oleh senat Oktavianus diberi gelar “Augustus” yang artinya “Yang Maha Mulia”. Dengan stabilitas pemerintahan pada masa Kaisar Octavianus maka mulailah bidang kebudayaan mendapat perhatian.
Kebudayaan Romawi mendapat unsur-unsur pokok dari kebudayaan Etrusia dan Yunani. Hal ini berarti kebudayaan Romawi merupakan hasil perpaduan dari kebudayaan yunani dan Etrusia, tanapa ada unsur-unsur dari kebudayaan romawi sendiri.
Pada masa Octavianus, orang-orang Romawi melihat sesuatu dari sudut kegunaannya. Pandangan hidup bangsa Romawi ini memberikan warna pada kehidupan agama. Tepatlah apa yang diungkapkan oleh Cicero, bahwa agama bagi mereka bukan untuk mendidik manusia kepada kebajikan, melainkan manusia sehat dan kaya. Dengan pandangan hidup yang praktis ini menjadi ciri utama orang-orang Romawi.
Dalam lapangan ilmu pengetahuan, bangsa Romawi bukanlah pencipta teori-teori, tetapi pelaksana teori yang telah ada sejak zaman Yunani. Dengan ini mata rantai jang seakan-akan putus dalam perkembangan ilmu pengetahuan menjadi tumbuh kembali. Bila sarjana Yunani adalah ahli teori, maka sarjana Romawi adalah ahli praktek.
Masa Octavianus merupakan masa penyempurnaan seni dan budaya Romawi. Pengaruh budaya Yunani mulai masuk dengan kuatnya sejak tahun 146 SM bersamaan dengan usaha bangsa Romawi melakukan penaklukan di Laut Tengah. Selama kekuasaan Romawi, seni Romawi disebarkan ke Eropa dan sekitar Laut Tengah.
Seni Romawi sebenarnya merupakan pencampuran dua unsur seni budaya, yaitu Romawi yang merupakan daerah kekuasaan Etruskia dan seni Yunani. Pada hekakatnya budaya ini bukan berasal dari rakyat biasa melinkan dari golongan bangsawan. Golongan seniman besar, seperti yang terdapat di Yunani di Roma tidak ada. Justru bangsa Romawi mendatangkan seniman-seniman dari Yunani. Oleh karena itu, pengaruh Yunani di Romawi sangat kuat. Politik maupun seni dan budaya Roma di bawah bangsa Etruskia. Dengan begitu seni Romawi pada dasarnya adalah pencampuran unsur-unsur budaya Etruskia dan Yunani yang kemudian menjadi seni budaya baru.
Orang Romawi senang menciptakan sesuatu secara besar-besaran karena mereka suka sesuatu yang megah, mewah, dan monumental, serta menarik perhatian. Semua hasil karya budaya terutama karya seni rupa, baik berupa seni bangunan, seni patung atau relief, maupun seni lukisnya dibuat serba besr, megah, dan penuh hiasan. Orang-orang Romawi menciptakan karya teknik bangunan yang menggumkan, seperti bangunan saluran air (aquaduct), jembatan, gedung besar untuk balai pertemuan dan pasar, bangunan untuk olahraga dan pentas seni (thermen, theater, amphitheater). Selain bangunan diatas, juga terdapat banguan kuil untuk persemayam dewa. Orang Romawi melanjutkan pengetahuan orang Yunani antara lain bangunan dengan kontruksi lengkung untuk membuat ruangan-ruangan menjadi luas.
Bangunan atap kubah untuk pertama kali diciptakan kurang lebih tahun 30 SM untuk bangunan Thermae di Baaie. Mereka juga membangun bangunan umum seperti jalan raya. Jalan raya yang terkenal adalah jalan Via Apia.
Rumah-rumah dewa atau kuil yang dibangun memiliki ukuran besar. Kuil-kuil yang berukuran besar tersebut antara lain Tempel Jupiter (abad ke-6 SM), Appolo dan Venus di Roma. Untuk setiap bangunan kuil tersebut di gunakan tinga-tiang penyangga. Batang tiang penyanggga atap menggunakan menggunakan kepala tiang dengan ciri-ciri Yunanni seperti Doria, Ionia, dan Korinthia.
Bangsa Romawi juga ahli dalam pembuatan patung terutama patung setangah dada atau potret. Bentuk wajah dibuat dengan sangat teliti, sedangkan tubuh dan lainnya lebih sederhana. Kecakapan membuat patung ini berhubungan dengan kebiasaan keluarga-keluarga terkemuka bangsa Romawi yang senang membuat patung nenek moyang dalam jumlah banyak dan sangat teliti. Biasanya patung nenak moyang disimpan di rumah dan ditempatkan dalam satu ruangan khusus yang disebut Atrium. Atrium ini juga dilengkapi dengan altar.
Orang-orang Romawi dalam membuat patung memiliki kebiasaan yang sama dengan bangsa Yunani. Dalam membuat patung, orang-orang Romawi selalu mematungkan tokoh-tokoh penguasa, tokoh-tokoh politik, dan cendikiawan. Banyak sekali tokoh penguasa, tokoh politik dan cendikiawan yang dijadikan sebagai latar dalam membuat patung seperti wajah tokoh Julius Caesar, Agustus, Tuchidides, Demostenes, Caracalla, dan lainnya. Gambar wajah para tokoh ini selain dipatungkan juga dilukiskan pada mata uang logam.
Bangsa Romawi juga senang pada keindahan rumahnya. Dinding bagian dalam rumah dihias dengan lukisan untuk memberikan kesan luas. Kegiatan memperindah dinding ini biasa pada dinding rumah dengan cara melukis pemandangan alam dan bangunan-bangunan rumah yang seolah-olah terlihat dari jendela. Kegiatan melukis pada dinding-dinding rumah yang dilakukan oleh orang-orang Romawi ternyata meniru kebiasaan bangsa Yunani. Dengan demikian melukis Cara melukis yang dilakukan oleh orang Romawi memdapat pengaruh basar dari Yunani. Dari seni melukis pada dinding ini banyak ditemukan peninggalan-peninggalan yang merupakan hasil kebudayaan masyarakat Romawi. Salah satu dari sekian banyak peninggalan kebudayaan ini adalah peninggalan lukisan didinding rumah yang terdapat di Pompeii. Peninggalan lainnya terdapat di Roma yang menggambarkan pengantin perempuan dan teman-temannya sedang mempersiapkan upacara perkawinan. Selain pada dinding rumah, seni lukis juga ditemukan pada mangkuk, jambangan, piring dan tempat bunga.
Bangsa Romawi yang senang membuat bangunan monumental menyebabkan bangsa ini kaya dengan hasil-hasil bangunan berupa monumen dan kuil. Monumen yang dibuat oleh bangsa romawi berupa pintu gerbang kemenangan atau tiang kemenangan. Bangunan monumen ini digunaakn untuk memperingati suatu peristiwa sejarah. Pada banguan monumen itu diberi relief yang menggambarkan peristiwa kemenangan. Peninggalan seni monumen ini terdapat di Roma dan dibeberapa daerah jajahan Romawi.
Perubahan ketatanegaraan Romawi dari republik ke bentuk kekaisaran tidak mengendurkan semangat dan perkembangan budaya orang-orang Roma untuk mendirikan bangunan berupa bangunan monumental. Hanya saja, apabila pada masa republik pendukung seni budaya dilakukan oleh para bangsawan. Namun, setelah menjadi kekaisaran, yang mendukung seni budaya adalah golongan istana. Sejak kaisar Agustus, seni budaya elbih cenderung mejadi seni kuna yang berkiblat pada Yunani.
Setiap kaisar yang berkuasa di Romawi selalu meninggalkan seni budaya beruapa bangunan monumen. Kebiasaan yang dilakukan oleh kiasar-kaisar ini dilakukan sebagai sarana untuk menunjukan jasanya kepada negara. Maka sejak kiasar-kaisar ini berkuasa, banyak sekali didirikan bangunan besar dan megah dengan menggunakan bahan dari marmer.
Peninggalan seni bangunan Romawi pada masa kekaisaran ini jumlah sangat banyak. Banguan-banguan monmen tersebut antara lain:
1. Kuil Zeus yang didirikan di Olympia.
2. Kuil Jupiter Heliopalitanus di ba’albek (syria)
3. Pantheon merupakan sebuah kuil yang kemudian digunakan untuk gereja.
4. Mousoleum di Roma yang didirikan pada tahun 175 SM.
Mousoleum merupakan bangunan yang berupa makam yang indah. Pada sisi dalam ruang Mousoleum dihiasai ddengan berbagai ornamen yang indah.
5. Teater di Pompeii, solona, dan Asperados.
6. Amphiteater
Amphpiteater merupakan perpaduan dua buah teater yang dipergunakan untuk pertunjukan mengadu benteng dan untuk perkelahian gladiator, tempat duduk penonton berkeliling, semakin kebelakang semakin tinggi. Amphipater pada masa kaisar Vespasianus (695 SM) dipergunakan untuk peragaan perang-perangan seperti di laut bebas dan Circus (sirkus), tempat untuk berpacu kuda yang menarik kereta beroda dua.
7. Thermen
Merupakan tempat pemandian dengan ruang-ruang mandi berair panah, berair hangat dan dingin.
8. Bangunan istana
9. Gerbang kemenengan
10. Tiang kemenangan
Pada masa Gothik (100 – 1400 M), kebudayaan Romawi tidak dapat dipisahkan dari perkembangan agama kristen. Agama kristen atau Nasrani sebenarnya telah berkembang sejak jaman pemerintahan Tiberius. Agama ini disiarkan oleh Yesus (Isa) dari nazareth, yang dilahirkan di Palestina. Agama Kristen ini berbeda dengan kepercayaan rakyat Romawi yang poltheis. Agama Nasrani memiliki kepercayaan monoteis. Dengan pertimbangan-pertimbangan politik dan kemanan negara, Tiberius menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus pada tahun 33. Tetapi kematian Yesus ini tidak berarti agama Kristen lenyap dari kehiduapan masyarakat Romawi, malahan sebaliknya.
Setelah Yesus atau Nabi Isa disalib dibukit Gologota, agama kristen berkembang sampai Mesir, Syria, Asia Kecil, dan ke Roma. Hampir selama tiga abad para pengikut agama Kristen dalam ketakutan dan dikejar-kejar oleh penguasa Roma. Pada tahun 395 agama kristen ditetapkan sebagai agama negara. Dari masyarakat pemeluknya lambat laun timbul suatu bentuk kelompok kegerejaan yang disusun menurut organisasi-organisasi yang ada di Imperium Romanum (penguasa Roma).
Periode Gothik seni Kristen mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh perpindahan pemerintahan dari Konsatantinopel ke Byzantium. Kekaisaran romawi mengalami perpecahan menjadi Romawi Barat dan Romawi Timur. Romawi Barat mengalami keruntuhan tahun 335 M.
Ketika penguasa Roma masih memusuhi para pengikut agam kristen, di Roma sendiri secara sembunyi-sembunyi berkembang seni Katamba. Sejak saat itulah lahir seni Katakomba yang meruapakn tanda lahirnya seni kristen awal. Katakomba sendiri merupakan kuburan-kuburan bawah tanah.
Kemudian dalam masyarakat Romawi pada masa Gothik ini selalu melakukan kebiasaan untuk berkumpul di ruangan terowongan dengan tujuan mengadakan kegiatan agama. Dari seringnya diadakan perkumpulan, kemudian berkembang kebiasaan masyarakat untuk menghiasi dinding dengan motif jaman kuno. Motif-motif klasik yang digambar dalam dinding-dinding terowongan ini, kemudian tergeser oleh perkembangan motif-motif modern atau baru. Motif-motif yang baru ini biasanya berbentuk manusia dan binatang yang digambarkan secara simbolik untuk kepentingan agama kristen. Karya seni kristen awal ini anatara lain lukisan-lukisan kristus sebagai “gembala yang baik”. Pada umumnya yang mengembangkan seni Katakomba ini adalah bukan seniman. Bagi mereka yang erpenting adalah dapat mengungkapkan arti dan ide melalui lukisan dan sebagai bakti mereka kepada agama kristen. Namun, justru “seniman-seniman” Katakomba ini menjadi pelopor seni nonrelistik pada abad pertengahan.
Ketika gereja mengalami kemerdekaan kembali pada abad ke-4, kemudian agama kristen dijadikan agama resmi, mulailah perkembangan seni banguan gereja. Pada masa itu, para arsitek membangun gereja dengan menggunakan konsep dasar seni bangunan basilika bangsa Romawi, yaitu suatu bangunan untuk pertemuan-pertemuan umum berbentuk persegi panjang. Perkembangan selanjutnya adalah bagunan gereja dengan menara lonceng pada bad ke-6.
Seni bangunan pada bangunan gereja adalah bangunan geraja dengan denah memusat dan berkubah serta menggunakan denah memanjang atau basilika dengan langit-langit datar atau dengan lengkung silang. Contoh seni bangunan pada masa gereja adalah bangunan gereja St.Andrea di Mantua dan gereja St.Novella di Feirence.

Peran Golkar dalam pelaksanaan Otonomi Daerah (Analisis UU No.5 Tahun 1974)


Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa desentralisasi berhubungan dengan otonomi daerah. Sebab, otonomi daerah merupakan kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat. Jadi dengan adanya desentralisasi, maka akan berdampak positif pada pembangunan daerah-daerah yang tertinggal dalam suatu negara. Agar daerah tersebut dapat mandiri dan secara otomatis dapat memajukan pembangunan nasional.
Peran Golkar dalam pelaksanaan Otonomi Daerah (Analisis UU No.5 Tahun 1974)

Pada masa Orde Baru, pemerintah menciptakan suatu undang-undang untuk mengatur pelaksanaan daerah. Undang-undang tersebut ialah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 sebagai pengganti undang-undang sebelumnya yang dianggap bertentangan dengan hukum positif yang berlaku. Undang-undang ini menegaskan adanya otonomi daerah dalam pemerintahan dan penyelenggaran urusan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, dekosentrasi, dan asas tugas pembantuan di daerah yang semuanya mempunyai peranan yang penting dalam penyelenggaran daerah. Dalam penerapan undang-undang ini menggunakan prinsip otonomi yang dipakai bukan lagi otonomi riil dan seluas-luasnya tetapi otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
Pelaksanaan otonomi daerah disini harus dapat menunjang perjuangan aspirasi rakyat yakni memperkokoh negara kesatuan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Tujuan dari pemberian otonomi daerah ini juga untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah terutama dalam pelaksanaan pembangunan serta pelayanan terhadap masyarakat juga untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa. Serta dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Di dalam undang-undang ini telah diatur struktur pemerintahan yang terdiri dari:
1.Kepala Daerah
2.Wakil Kepala Daerah
3.Sekretaris Daerah dan Dinas Daerah
4.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
5.Sekretaris DPRD

Golkar yang dalam rezim Orde Baru ini berperan sebagai partai hegemoni mempunyai peran yang cukup besar dalam implementasi Pemerintahan daerah berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974. Sejak Golongan Karya (Golkar) memenangkan Pemilihan Umum tahun 1971 Golkar menjadi pemegang agenda politik secara tunggal di Indonesia. Dari sejak itu pula tercipta apa yang di istilahkan Sistem kepartaian yang Hegemoni. Sebagai partai hegemoni, Golkar punya keunikan, yakni bukan partai kader dan partai masa (oleh sebab itu dulunya Golkar tidak mau disebut partai). Partai hegemonik tidak diciptakan dan dikembangkan oleh kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat sebagaimana partai masa dan partai kader, tetapi di bangun oleh pemerintah. Partai hegemonik mempunyai faksi-faksi dalam dirinya yang terdiri dari Faksi militer dan birokrasi. Kedua faksi ini secara bersamaan berfungsi sebagai politbiru yang mengontrol kebijakan-kebijakan partai).
Posisi Golkar disini memang sebagai alat penopang kekuasaan pemerintahan kala itu. Semua kebijakan Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh militer, birokrasi dan termasuk Golkar. Selama berpuluh-puluh tahun berkuasa, Golkar menduduki jabatan-jabatan penting mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif termasuk hingga sampai kepada lembaga-lembaga struktur di daerah-daerah. Hal ini sangat wajar karena Golkar sebagai partai hegemoni dan setiap pemilihan di masa Orde Baru Golkar selalu menjadi partai pemenang dalam Pemilihan Umum. Struktur lembaga legislatif yang amat di dominasi Golkar yang hampir tak terpisahkan dari Birokrasi ABRI telah menyebabkan kungkungan birokrasi terhadap lembaga legislatif ( baik di pusat maupun daerah ) terlalu kuat untuk dilawan dan diabaikan.

Hubungan implementasi otonomi daerah dengan Golkar ialah, karena aparat-aparat yang menjalankan pemerintahan daerah disini dan yang mengatur semua mekanismenya tidak lepas dari orang-orang Golkar. Para aparat yang terdiri atas aparat militer dan perwakilan dari partai Golkar yang semuanya adalah alat pemerintah Soeharto. Meskipun Kehadiran Golkar ataupun aparat militer di dalam kelembagaan pemerintah merupakan hasil dari pilihan rakyat, namun tetap saja pilihan tersebut merupakan suatu pilihan yang sebenarnya sudah diatur dengan sedemikian rupa oleh pemerintah yang berkuasa, sehingga Partai Golkar lah yang selalu menang. Sehingga jika dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.5 Tahun 1974 tentang pelaksanaan daerah akan membuat penyelenggaraan didaerah akan lebih baik dan tidak bersifat sentralistik, hal tersebut tidak akan terealisasi secara maksimal. Hal ini dapat kita lihat dalam struktur-struktur lembaga-lemabaga pemerintahan daerah yang didalamnya masih di dominasi oleh orang-orang dari partai Golkar dan aparat militer (Mulai dari DPRD, kepala daerah, wakil hingga sekretaris daerah). Akibatnya fungsionaris-fungsionaris birokrasi ini sukar untuk diharapkan berbeda dengan birokrasi. Dalam masalah pertanggung jawaban dan pelaporan hasil pelaksanaan pemerintahan daerah, semuanya masih harus bergantung dari pemerintah pusat. Jika dari sistem hingga aparat pemerintahannya semua berdasarkan dari pusat maka dalam pelaksanaannya pun tidak akan jauh-jauh sesuai dengan kehendak pemerintah Pusat.
Dalam undang-undang ini menetapkan bahwa kepala daerah menurut hierarki bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Kepala daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRD melainkan hanya memberikan keterangan pertanggungjawaban atas pelaksanaan pemerintah daerah yang dipimpinnya agar DPRD sebagai salah satu unsur pemerintah daerah dapat selalu mengikuti dan mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Dari sini dapat terlihat bahwa meskipun lembaga DPRD ada sebagai wakil rakyat tetap saja tidak mempunyai peranan penting dalam penentuan suatu keputusan. Untuk melihat hasil suatu pelaksanaan pemerintahan saja, DPRD hanya di beri hak untuk meminta keterangan selanjutnya keputusan harus berdasarkan atas persetujuan Presiden melalui Menteri Dalam Negerinya. apalagi dalam Struktur DPR dan DPRD yang terlihat kurang terpisah dengan birokrasi. Prosedur pemilihan anggota-anggota kedua lembaga tersebut di ambil melalui pengajuan daftar nama oleh partai kemudian dihadapkan pula oleh Golkar yang merupakan Partai hegemoni telah menyebabkan lembaga legislatif serta lembaga-lembaga lainnya maupun aparat pemerintahan lainnya (Gubernur, Bupati, Sekretaris Daerah dsb.) menjadikan kehilangan arti sebagai lembaga perwakilan rakyat dan ataupun aparat yang bekerja untuk rakyat. Semuanya hanya bekerja dan menyelesaikan tanggung jawabnya untuk Presiden.

Berdasarkan pemaparan ini dapat kita cermati bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru mengenai pelaksanaan undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Otonomi daerah dalam implementasinya masih bersifat sentralistik yakni hanya untuk kepentingan penguasa dan pemerintah Pusat saja. Sepanjang para aparat yang menduduki struktur pemerintahan daerah masih dikuasai oleh Golkar yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah Pusat ataupun Presiden (Soeharto), maka tujuan untuk meningkatkan pembangunan daerah dan mengembangkan daerah tidak akan terealisasi secara maksimal. Asas Desentralisasi yang merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ini juga tidak dapat direalisasikan pada akhirnya karena hanya merupakan sebuah tameng saja di dalam undang-undang ini. Golkar yang merupakan partai hegemoni telah membuat suatu perubahan besar yang terjadi dalam pemerintahan orde Baru dan dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Adanya tindak kekerasan politik dengan aktor utamanya militer membuat Golkar selalu menang dalam Pemilu, karena penggunaan kekerasan militer di masa Orde Baru ini merupakan “prosedur tetap” untuk mengendalikan dan memobilisasi masa pemilih guna memenangkan Golkar. Sehingga mau tidak mau rakyat dipaksa untuk memilih Golkar dan menyebabkan para elit Golkar yang terpilih untuk mewakili rakyat dalam menjalankan sistem pemerintahan yang ada termasuk dalam pemerintahan daerah. Alasan Golkar melakukan tindakan seperti itu tidak lain adalah untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, rencana ataupun hasil penyelenggaraan pemerintah daerah harus dapat dipertanggung jawabkan pada Presiden. Sedang di DPRD atau lembaga lainnya hanya diberi hak untuk meminta keterangan. Lagipula meskipun DPRD diberi kekuasaan juga merupakan hal yang sia-sia, toh hampir semua yang menduduki kursi kekuasaan baik eksekutif, yudikatif, ataupun legislatif sebagai representatif rakyat bahkan hingga kepala daerah ataupun orang-orang yang duduk dalam dinas-dinas pemerintahan semuanya mayoritas di duduki oleh para elite Golkar dan militer yang merupakan kepanjangan tangan sang penguasa. (Soeharto) yang pada akhirnya akan memuluskan permintaan presiden. Disini terlihat bahwa fungsi-fingsi lembaga dalam struktur tersebut terasa hilang.

Maka dalam implementasi adanya undang-undang No.5 ahun 1974 hanya merupakan alat legitimasi yang sah dalam pelaksanaan sentralisasi. Sentralisasi yang terpusat pada kekuasaan Soeharto. Adanya kekerasan politik dan recruitment politik local tyang dipaksa memilih Golkar membuat masyarakat daerah tetap sama sekali tidak mempunyai peran yang menentukan dalam penyelnggaraan pemerintahan daerahnya sendiri. Hanya dari Golkar bersama aparat militer yang dapat menentukan peranan maupun penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dan terlihat bahwa rakyat tidak mempunyai peluang dalam proses pemilu melainkan hanya sebagi proses pendamping dan dimanfaatkan hak suaranya saja. Adanya pemerintahan yang seperti ini juga mengakibatkan adannya kesenjangan antara daerah pusat dengan daerah-daerah kecil dan yang paling menonjol ialah kesenjangan di tingkat para elit dengan masyarakatnya.

book review studi hubungan internasional


BAB I
LATAR BELAKANG
            Latar belakang saya untuk menulis makalah ini adalah makalah ini memuat prinsip-prinsip dasar materi tentang studi hubungan internasional yang sengaja dirancang untuk kalangan penstudi hubungan internasional dan juga bagi siapa saja yang peduli terhadap masalah-masalah internasioanl dan studi hubungan internasional.
            Di dalamnya kita akan menemukan paparan komprehensif mengenai studi ini memanfaatkan berbagai literature asing.walaupun hendak menunjukkan karakter studi ini secara menyeluruh, penulis tetap mengedepankan satu aspek yang dirasa sangat penting yaitu prespektif konsep-konsep dan teori hubungan internasional. Misalnya teori realism politik internasional, teori system internasional, teori pembuatan keputusan politik luar negeri, dan tipologi teori pembuatan keputusan politik luar negeri.
            Di bagian lain kita akan mendapatkan pokok bahasan yang menyangkut masalah yang berkenaan dengan pandangan Negara sebagai actor utama dalam system internasional serta berbagai actor lainnya yang memberikan kontribusi dalam pencaturan politik internasional dan peranan kepentingan nasional dalam politik dan hubungan internasional.
            Hal yang tak kalah penting adalah mengenai manajemen konflik dalam system internasional. Persoalan ini di kembangkan debgan menggunakan materi manajemen konflik dalam system internasional serta metode penyelesaian konflik serta berbagao pendekatannya.
Apakah Hubungan Internasional Itu
            Kompleksitas hubungan internasional  barangkali yang telah memberikan akses kuat terhadap alasan, mengapa kita tertarik untuk mempelajari hubungan internasional yang tercermin  dalam hubungan antar negara-negara sejak akhir Perang Dunia Kedua semakin lama semakin kompleks. Kompleksitas ini disebabkan oleh tiga hal pokok. Pertama, multiplikasi pelkaku-pelaku dalam hubungan internasional, di antara mana persengketaan mungkin timbul, multiplikasi ini tidak hanya dalam artian jenis pelaku akan tetapi juga jumlah setiap jenis pelaku. Ke dua, multiplikasi jumlah masalah-masalah yang dapat menjadi sebab dari persengketaan.

Ke tiga, multiplikasi cara dan peralatan yang dapat digunakan untuk memecahkan persengketaan di masa depan, (Daoed Joesoef, 1989, 5).
            Bagi pandangan (David N. Farnworth, 1988,1) yang mengemukakan bahwa ada dua alasan utama yang paling umum digunakan untuk mengetahui orang tertarik untuk mempelajari hubungan internasional. Pertama, keinginan untuk mengetahuilebih banyak tentang dampak atau implikasi yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di bidang internasional bagi kehidupan kita atau serta kemungkinan pengaruhnya manakala Negara0negara yang mungkin lepas kontrol akan alat-alat yang digunakan. Ke dua, diperuntukkan bagi kepentingan penelitian hubungan internasional dapat mangajarkan kita bahwa suasana persengketaan/konflik tidak selamanya bersifat langgengyang terkadang bisa mengancam kehidupan kita. Oleh karena itu jika alasannya hanya bersifat tidak lebih hanya membedakan antara ancaman-ancaman internasional dengan sungguh-sungguh dengan sendirinya bisa membangkitkan semangat studi hubungan internasional.
Tujuan Studi Hubungan Internasional
Pada prinsipnya, tujuan studi hubungan internasional adalah untuk mempelajari perilaku para aktor seperti misalnya negara, maupun yang bukan termasuk kategori sebuah Negara (organisasi internasional) di dalam arena transaksi internasional.








BAB II
KERANGKA TEORI
TEORI DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
TEORISASI STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
            Telah diuraikan tujuan dari studi hubungan internasional yaitu untuk menganalisis fenomena-fenomena internasional yang terjadi. Tentunya untuk dapat melaksanakan tugas ini, studi hubungan internasional memiliki instrumen-instrumen analisisnya yang disebut sebagai “teori”.
BERBAGAI TEORI DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
            Sebagai langkah pertama yang perlu diperhatikan adalah yang berkaitan dengan terminologi/ istilah teori. Kata teori, berasal dari bahasa Yunani yakni “theoro” yang artinya,  melihat kepada. Pengertian istilah teori seperti ini bagi pandangan ilmu politik dan hubungan internasional merujuk kepada rumusan bahwa teori itu adalah “sistem generalisasi yang berdasarkan kepada penemuan empiris atau yang dapat diuji secara empiris” (Estephen L. Wasby, 1970, 62). Dala hal ini, teori memberikan gambaran dalam generalisasi untuk menjelaskan apa yang terjadi. Teori senantiasa berkaitan erat dengan”... pernyataan-pernyataan yang disebut hukum, yang satu sama lain diekspresikan ke dalam variabel-variabel dengan berbagai sebutan terhadap sistem itu”. Teori juga sering menunjukkan kepada sejulah generalisasi yang secara teratur, sistematis dan sering berkaitan dengan deskripsi, analisis dan sintesa. (Ronald H. Chilcote, 1981, 15). Namun secara etimologis, terminologi, teori berkonotasi dengan dua hal yakni: (a). Suatu pandangan atau suatu konsepsi yang saling berkaitan antara fakta-fakta; (b). Suatu pandangan atau konsepsi dari sebuah sistem hukum-hukum atau konsepsi dari sebuah sistem hukum atau prinsip-prinsip. (Madab. G. Gandhi, 1981,78).
  1. Teori Realisme Politik Sistem Internasional
Teori Politik dan hubungan internasional realisme dianggap sebagai reaksi terhadap penganut paham utopianisme yang didominasi oleh studi politik dan hubungan internasional di Amerika Serikat (AS) dari tahun 1940-an sampai tahun 1960-an. Para pengajar studi hubungan internasional di berbagai universitas-universitas di Amerika Serikat (AS) senantiasa menggunakan buku-buku ajar yang berasal dari hasil karya sarjana-sarjana kelompok aliran pemikiran realis meskipun ditambah dengan buku-buku yang ditulis oleh sarjana di luar dari paham itu. Teori realisme sebagaimana juga utopianisme, memiliki sifat normatif dan cenderung kepada cirinya yang khusus sebagai “policyoriented” dan lebih tinggi derajatnya jika dibandingkan dengan teori otopiaisme.
Sementara itu generalisasinya tentang perilaku internasional bersumberkan sejarah. Sedangkan dari kelompok utopianisme, lebih menekankan pada perkembangan norma-norma perilaku hubungan internasional dengan berdasarkan kepada nilai-nilai hukum dan organisasi. Realisme menekankan bahwa negara bangsa-negara bangsa dijadikan sebagai unit analisisnya dan inilah pula yang palng pokok.
Teori realisme mengasumsikan bahwa lokasi/wilayah geografis suatu bangsa, akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan nasionalnya serta orientasi kebijaksanaan politik luar negerinya. Oleh sebab itu, kondosi atau faktor geografis bagi suatu bangsa/negara dianggap sebagai satu hal yang esensial khususnya di dalam kerangka implementasi kebijaksanaan politik luar negerinya.
2.    Teori Sistem Studi Hubungan Internasional
              Kontrol sistem, tampaknya paling banyak dan sangat aluas digunakan dalam studi ilmu politik dan hubungan internasional.
              Dalam kaitan ini pernah dilakukan operasionalisasi terhadap teorisasi di dalam bidang hubungan internasional seperti yang dilakukan oleh Morton Abraham Kaplan (1957, 4) yang mengemukakan bahwa “a scientific politics can develop only if the materials of politics are treated in terms of system of action”. Dan orang akan yakin saja bahwa setiap sistem itu memiliki komponen-komponen. Suatu komponen-komponen itu dapat diidentifikasikan dengan amat jelas. Misalnya diantara planet-planet dan  matahari merupakan elemen-elemen tatasurya (solar system).
              Setiap sistem, memiliki tiga karakteristik :
a.       Identifikasi unsur–unsur (unit-unit);
b.      Hubungan antarnegara unsur-unsur; dan
c.       Perbatasan (bouderies);

Dari karakteristik inilah mereka bekerja ke dalam suatu sistem di mana bagian dari setiap unsur-unsur (elemen-elemen) itu saling kait mengait satu sama laindan sebuah sistem itu dipengaruhi atau dibatasi oleh lingkungannya yang berupa sistem-sistem lain di luar sistem itu sendiri
Dalam praktek sistem teori yang diaplikasikan dalam studi politik dan hubungan internasional, bahwa sistem ini pertama kali dilihat sebagai suatu cara pandang (way of looking) terhadap fenomena-fenomena. Maka dengan pemikiran seperti itu, dalam studi tertentu, pendekatan sistem akan melahirkan dua dasar masalah yakni berupa serangkaian permasalahan-permasalahan.
Wujud sistem dalam tingkat internasional di dalam studi hubungan internasional, dikemukakan oleh Morton A. Kaplan (1962, 4) mengatakan bahwa defenisi atau rumusan tentang sistem dalam konteks hubungan internasional dianggap sebagai “set of variables so related, in contradiction to its environtment, that is describe behavioral regularities characterize the internal relationships of the set of individual variables to combination to external variables” pendapat lainnya dikemukakan oleh Charles A McClelland (1965, 258), sistem teori adalah suatu teknik untuk membangun/membentuk/mengembangkan suatu pengertian dan pemahaman hubungan-hubungan antara bangsa-bangsa yakni bertujuan untuk mengidentifikasikan, mengukur interaksi ke dalam suatu sistem dan subsistem, serangkaian perilaku dalam sistem serta reaksinya kepada yang lain yang kesemuanya dapat dipelajari dengan melalui teorisasi.
Ada beberapa kemungkinan untuk membangun alternatif-alternatif yang dapat dikonstruksikan kedalam enam model, yaitu :
a.       Balance of power system;
b.      Sistem bipolar longgar (loose bipolar system);
c.       Sistem universal (universal system);
d.      Sistem bipolar ketat (tight bipolar system);
e.       Sistem berjenjang/bertingkat;
f.       Sistem veto-unit/proliferasi (unit veto system)

3.    Teori Pembuatan Keputusan Dalam Sistem Hubungan Internasional
Semenjak Perang Dunia Kedua, kepentingan terhadap keputusan-keputusan (decisions) sebagai satu unsur sentral dalam proses politik. David Easton, yang menggunakan terminologi seperti itu ke dalam fungsi “output” dalam sistem politik. Konsep pembuatan keputusan telah lama digunakan dalam sejarah diplomasi dan aktivitas lembaga-lembaga pemerintahan. Konsep ini kemudian diambil oleh studi ilmu politik untuk menganalisis perilaku keputusan/kebijaksanaan politik para eksekutif. Studi kebijakan politik luar negeri sangat erat kaitannya dengan teori pengambilan keputusan/kebijaksanaan dalam studi hubungan internasional khususnya.












BAB III
URAIAN TEKS
MASALAH DEFINISI KONSEP POLITIK LUAR NEGERI
Pengertian Politik Luar Negeri
              Politik luar negeri adalah keseluruhan perjalanan keputusan pemerintah untuk mengatur semua hubungan dengan negara lain. Politik luar negeri merupakan pola perilaku yang diwujudkan oleh suatu negara sewaktu memperjuangkan kepentingan nasionalnya dalam hubungannya dengan negara lain. Politik luar negeri dapat diartikan sebagai suatu bentuk kebijaksanaan atau tindakan yang diambil dalam hubungannya dengan situasi/aktor yang ada diluar batas-batas wilayah negara.
              Tujuan atau sasaran politik luar negeri didasarkan kepada dua unsur utama, dua unsur utama tersebut dalam politik luar negeri yaitu :
a.       Tujuan nasional (national objectives); dan
b.      Sarana (means) untuk mencapai tujuan tersebut.

Tujuan Politik Luar Negeri
              Dalam setiap politik luar negeri pada umumnya memiliki tujuan yang hendak dicapai (foreign policy objectives) yang terkadang melebihi kepentingan nasionalnya. Dalam hal ini tergantung kepada si pembuat kebijaksanaan atau keputusan politik luar negeri yang bersangkutan dan dalam hal ini, sering terjadi perbedaan-perbedaan terutama di dalam perspektif, orientasi dan peranan orientasi politik luar negerinya.
              Pandangan K. J. Holtsi (1974, 130-152) menguraikan berbagai kemungkinan untuk dapat memahami struktur dan tujuan politik luar negeri yang pada dasarnya untuk mewakili, menegakkan, membela, memperjuangkan dan memenuhi kepentingan nasional dalam forum internasional yang tidak lain adalah forum interaksi masyarakat internasional. Kepentinagn nasional menjadi prinsip dalam kerangka pelaksanaan politik luar negeri.
              K. J. Holtsi (1987, 175) membuat suatu skema untuk menggambarkan dan klasifikasi ruang lingkup tujuan politik luar negeri dengan menggunakan tiga kriteria, yakni :
a.           Nilai yang berada pada tujuan atau tingkat nilai yang mendorong pembuat kebijaksanaan/keputusan dan penggunaan sumber daya negara untuk mencapai tujuan itu;
b.      Unsur waktu untuk mencapai tujuan;
c.           Jenis tuntutan tujuan yang dibebankan kepada negara lain kedalam sistem. Berdasarkan kepada kriteria tersebut, kita dapat membentuk kategori tujuan politik-politik luar negeri itu sebagai berikut :
1.      Nilai dan kepentingan “inti” (core objectives) yang mendorong pemerintah dan bangsa untuk melakukan eksistensinya dalam rangka mempertahankan atau memperluas tujuan sepanjang bisa dilakukan dengan atau tanpa menekan negara lain;
2.      Tujuan-tujuan antara (jangka menengah) biasanya menekankan tujuannya kepada negara lain (komitmen untuk mencapai tujuan ini secara sungguh-sungguh dan biasanya tujuan ini memiliki beberapa pembatasan);
3.      Tujuan jangka panjang biasanya jarang memiliki batasan waktu untuk mencapainya.

MANAJEMEN KONFLIK DALAM SISTEM INTERNASIONAL

1.1 Dasar Pemikiran Teori System
            Konsep umum mengenai system ini lahir dari pemikiran ilmu pengetahuan alam, lalu konsep ini diambil ali dan dipergunakan oleh ilmuwan social dalam rangka mengkaji politik. Secara sederhana, pemikiran dasar system itu mengacu pada satu asumsi bahwa masyarakat itu merupakan satu totalitas sebagai satu kesatuan (entitas) yang mempunyai elemen-elemen/unsure-unsur, dimana setiap unsure atau elemen tadi mempunyai kaitan satu sama lain, system seperti ini dapat dianalogikan dengan satu organism biologis.
            Sekalipun demekian, system yang digunakan dalam artian metodologik atau tatacara, berkaitan erat dengan pendekatan systemic yang lebih dikenal dengan teori system sebagai langkah pemilihan berbagai kemungkinan tingkat analisis yakni dengan masalah apa yang harus ditelaah atau yang dapat diamati.
            Khususnya dalam studi hubungan interrnasional, masalah apa yang harus ditelaah, apa yang harus dipakai sebagai unit analisis. Seperti apa yang dikatakan oleh David Singer (1961), bahwa di dalam ilmu apapun, ada semacam keharusan untuk memilih sasaran analisis tertentu. Dalam setiap bidang kegiatan keilmuan, selalu terdapat berbagai metode untuk memilah-milah dan mengatur fenomena-fenomena yang akan dipelajari demi analisis yang sistematis.
            Misalnya, kita dapat memilih atau memperhatikan bunga atau kebunnya, pphon atau hutannya, rumah atau kampungnya, remaja nakal atau gengnya, dewan perwakilan rakyat atau parlemennya, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan studi hubungan internasional, memungkinkan kita untuk mempelajari bunga-bunganya/batu-batuannya/pepohonannya/rumah-rumahnya/mobil-mobilnya/remaja-remaja nakalnya/anggota DPRnya/ataukah kita dapat mengalihkan perhatian kepada tingkat analisis dan mempelajari keseluruhan yaitu kebunnya/hutannya/kampungnya/kelompok gengnya/tetangganya/parlemennya.
            Bagi para pendukung tingkat analisis system internasional, bahwa bangsa-bangsa di dunia ini beserta interaksinya diantara mereka itu adalah merupakan suatu system. Struktur system dan perubahan-perubahan yang ada menentukan perilaku actor dalam system hubungan internasional yang tampak didalamnya. System sebagai lingkungan telah mempengaruhi perilaku Negara-negara bangsa, digunakan sebagai instrument untuk menjelaskan perilaku para actor (pelaku-pelaku) dalam system internasional.
1.2 Karakteristik Sistem Internasional
            System internasional dalam bentuknya merupakan bentuk khusus dari system social, meskipun system social berbeda dengan system internasional. System politik internasional berjalan di dalam suatu system dan bukan didalam suatu masyarakat atau komunitas. Dalam system social (setiap masyarakat) ada penerimaan bersama atas level atau tingkat-tingkat sasaran yang hendak dicapai. Sedangkan dalam system internasional tidak memiliki nilai-nilai/tujuan bersama, kecuali eksistensi dalam system itu.
            Dengan demikian system internasional dapat diklasifikasikan sebagai sebuah anarkis yang setengah teratur, kebebasan, dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Namun demikian, tingkat yang paling mendasar dalam konstruksi system internasionalnyalah pelaku-pelaku (actor-aktor) yang diibaratkan berada pada sebuah panggung. System internasional dilihat sebagai suatu gagasan bahwa disana terjadi suatu hubungan-hubungan dalam kaitannya dengan aktivitas-aktivitas antar para pelaku.
            Masyarakat adalah salah satu struktur bagi individu-individu. Masyarakat yang terdiri dari manusia-manusia yang melaksanakan interkasi dalam lingkungan kerjasama itu. Kegiatan interkasi ini berjalan dalam kondisi berkesesuaian dan ini tampak dalam tindakan-tindakan bersama dlam membentuk struktur social yang diketahui sebagai bentukan bagi sebuah organisasi.
            Negara bangsa sebagai pelaku utama dalam system internasional. Sejumlah Negara-negara bangsa didalam system  itu muncul secara intens terutama sejak usainya perang dunia kedua. Disamping Negara-negara bangsa sebagai actor utama dalam system internasional, juga ia terdiri dari pelaku-pelaku yang bukan Negara bangsa, yaitu Intergovernmental Organization (IGOs), dan Non-Governmental Organization (NGOs). Atau dengan berdasarkan klasifikasi ini dimasukkan sebagai lembaga-lembaga internsional yang kini berjumlah kurang lebih 200-an dan yang memperkerjakan kira-kira 500.000 orang pejabat-pejabat internasional yang tidak tunduk kepada hokum dan ketentuan nasional darimana mereka datang.
            Badan-badan internasional, sebagai pelaku berikutnya disamping dua pelaku yang telah disebutkan di atas adalah dalam bentuk badan-badan transnasional seperti Multinational Corporations (MNCs), kelompok-kelompok gerakan politik, ataupun kelompok-kelompok keagamaan, kelompok-kelompok ekonomi social politik, Amnesti Internasional, dan sebagainya.
1.2 Karakteristik Sistem Internasional
            System internasional dalam bentuknya merupakan bentuk khusus dari system social, meskipun system social berbeda dengan system internasional. System politik internasional berjalan di dalam suatu system dan bukan didalam suatu masyarakat atau komunitas. Dalam system social (setiap masyarakat) ada penerimaan bersama atas level atau tingkat-tingkat sasaran yang hendak dicapai. Sedangkan dalam system internasional tidak memiliki nilai-nilai/tujuan bersama, kecuali eksistensi dalam system itu.
            Dengan demikian system internasional dapat diklasifikasikan sebagai sebuah anarkis yang setengah teratur, kebebasan, dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Namun demikian, tingkat yang paling mendasar dalam konstruksi system internasionalnyalah pelaku-pelaku (actor-aktor) yang diibaratkan berada pada sebuah panggung. System internasional dilihat sebagai suatu gagasan bahwa disana terjadi suatu hubungan-hubungan dalam kaitannya dengan aktivitas-aktivitas antar para pelaku.
            Masyarakat adalah salah satu struktur bagi individu-individu. Masyarakat yang terdiri dari manusia-manusia yang melaksanakan interkasi dalam lingkungan kerjasama itu. Kegiatan interkasi ini berjalan dalam kondisi berkesesuaian dan ini tampak dalam tindakan-tindakan bersama dlam membentuk struktur social yang diketahui sebagai bentukan bagi sebuah organisasi.
            Negara bangsa sebagai pelaku utama dalam system internasional. Sejumlah Negara-negara bangsa didalam system  itu muncul secara intens terutama sejak usainya perang dunia kedua. Disamping Negara-negara bangsa sebagai actor utama dalam system internasional, juga ia terdiri dari pelaku-pelaku yang bukan Negara bangsa, yaitu Intergovernmental Organization (IGOs), dan Non-Governmental Organization (NGOs). Atau dengan berdasarkan klasifikasi ini dimasukkan sebagai lembaga-lembaga internsional yang kini berjumlah kurang lebih 200-an dan yang memperkerjakan kira-kira 500.000 orang pejabat-pejabat internasional yang tidak tunduk kepada hokum dan ketentuan nasional darimana mereka datang.
            Badan-badan internasional, sebagai pelaku berikutnya disamping dua pelaku yang telah disebutkan di atas adalah dalam bentuk badan-badan transnasional seperti Multinational Corporations (MNCs), kelompok-kelompok gerakan politik, ataupun kelompok-kelompok keagamaan, kelompok-kelompok ekonomi social politik, Amnesti Internasional, dan sebagainya.

1.3 Struktur Dalam Sistem Internasional
            Pelaku-pelaku internasional dari berbagai bentuknya, lingkup kegiatannya, keanggotaannya, tujuan/sasarannya, ikut memeriahkan panggung politik internasional,bagi pandangan yang dikemukakan oleh Jhon K.Gamble (et.al), mengelompokkan pelaku-pelaku itu ke dalam dua kategori pokok, yakni pelaku-pelaku besar (major) dan pelaku-pelaku kecil (minor), digambarkan sebagai berikut:
Major Actors :
-          States/or Countries
-          International Organizations (IGOs)
-          Multinational Corporations (MNCs)
-          Elites
Minor Actors :
-          Individual
-          Non Governmental Organization (NGOs)

1.4 Karakteristik Konflik Sistem Internasional
           Disini dikemukakan dua contoh jenis konflik dengan sasaran keseimbangan, yaitu yang pertama adalah Expansionist Policies yakni suatu kebijakan politik yang dilakukan oleh suatu negara untuk tujuan memperluas wilayah kekuasaannya dan dengan demikian tentunya ia berhadapan dengan Negara lainnya. Diantara factor-faktor itu adalah untuk mempertahankan prestise (gengsi) terutama bagi Negara-negara besar seperti akuisisi terhadap bahan-bahan mentah, memperluas tempat pasar atas barang-barang mereka, mencari tenaga-tenaga buruh yang relatif murah, pencarian bagi landasan atau pangkalan militer, dan sebagainya.
           Jenis yang kedua dari sasaran keseimbangan atas konflik adalah Revionist dan Status-quo Confrontation, adalah suatu bentuk konflik atau persengketaan yang bertujuan untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap Negara-negara status-quo. Bentuk konflik seperti ini muncul pada saat kondisi atau keadaan dimana kebijakan ekspansionis berhadapan dengan kepentingan-kepentingan Negara-negara yang memiliki status-quo dan pada umumnya  Negara-negara revisionislah yang memulai konflik dan Negara yang berstatus-quo akan berusaha membela diri dengan berbagai cara dan strategi yang ada.




BAB IV
KESIMPULAN
1.      Bahwa system internasional yang dijadikam sebagai model analisis untuk menggambarkan fenomena politik internasional dalam tataran yang sangat luas dan dalam. System internasional senantiasa dilandasi oleh pemikiran dasar atau konsep system itu sendiri dalam mana setiap atribut-atribut yang ada dalam system itu saling berinteraksi satu sama lain dan senantiasa ada saling ketergantungan.
2.      System internasional yang di maksudkan dalam hubungan ini adalah system internasional yang memuat berbagai atribut-atribut yang berisi pelaku-pelaku. Pelaku-pelaku ini terdiri dari nrgara-negara, organisasi-organisasi internasional (IGOs,NGOs,MNCs) ataupun orang-perorangan yang ikut memberikan kontribusi atau paling tidak memberikan pengaruh terhadap mekanisme dan dinamika system internasional.
3.      System internasional sebagai suatu kumpulan dari satuan-satuan politik yang masing-masing adalah independen dan mempunyai proses interaksi dengan tingkat keteraturan tertentu. Namun dalam kelanjutan adanya interaksi tadi, adalah implikasi dalam suasana internasionalnya yakni terjadi konflik-konflik internasional. Dan ini pulalah yang menjadi karakteristik system internasional yakni adanya konflik dan kerjasama.
4.      Karakteristik formulasi dari satuan politik yang saling berinteraksi tersebut, pada akhirnya membentuk suatu system internasional adalah konflik dan kerjasama(damai) sebagai resultance dari bermacam interaksi internasional itu dalam tataran yang lebih moderat.
5.      Meskipun demikian , dapat diamati bahwa tatanan aturan perdamaian seyogianya dapat diamati. Aturan yang diartikan dalam hubungan ini adalah usaha-usaha mengelola atas konflik-konflik yang terjadi dalam lingkungan system internasional. Maka dalam konteks ini dikenal dengan pengelolaan konflik dalam system internasional. Pengelolaan atas konflik-konflik internasional tersebut dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan teori dan metode apakah itu terlihat dari segi hokum internasional,organisasi-organisasi internasional,maupun tindakan penyesalan diluar hokum yakni dengan tindakan kekerasan,bagaimanapun,usaha-usaha mengelola konflik-konflik dalam hubungan antara Negara-negara bangsa sedikit banyak berfungsi untuk mencegah konflik yang lebih luas. Oleh sebab itu nampaknya sukar untuk di bantah bahwa hubungan internasional pasa akhirnya merupakan forum interaksi dari berbagai kepentingan-kepentingan nasional Negara-negara, yang dilakukan dalam tataran internasional.